Translate

Senin, 26 Desember 2011

Eye Feel Six: Band Hip Hop yang Tak Ingin Merasa Eksklusif


Band hiphop asal Bandung Eye Feel Six merilis sebuah album kritik yang dibantu sesama kawan komunitas musik underground Bandungr

image
Foto: dok. Eye Feel Six.
Bandung - 

Bagi band hiphop asal Bandung Eye Feel Six mereka sudah merasa bosan bahwa hiphop yang hadir sekarang ini masih saja berbicara soal perhiasan mewah, mobil BMW keluaran terbaru, perang antar geng, atau tentang fashion dan gaya hidup mentereng. Padahal awalnya hiphop merupakan representasi politik kulit hitam jika berkaca pada musik macam Public Enemy atau N.W.A. Setidaknya hiphop belum mengalami senjakalanya ketika Eye Feel Six merilis debut album Pain Per Hate yang berisi kritik sosial dan politik secara personal, bahkan mereka melemparkan otokritik terhadap musik hiphop itu sendiri.

“Musik hiphop masuk ke Indonesia sudah menjadi tren dan kebanyakan untuk urusan komersialisme dengan tema-tema stereotip macam bling-bling lah, dan semacamnya. Kami hanya menyadari bahwa kekuatan musik hip-hop lebih dari sekedar hal-hal tadi,” kritik Gayanugrah yang berperan sebagai MC di Eye Feel Six. “Musik hiphop sudah kehilangan akarnya,” lanjutnya.

Salah satu paling menarik adalah lagu “Obituari” yang ditulis bersama Ucok Homicide aka Morgue Vanguard dan didedikasikan untuk “kematian” musik hiphop di Indonesia saat semua musik hiphop sudah menjadi bagian sekrup industri. Salah satu bait paling menarik adalah lirik yang mengkritik musisi hiphop instant secara gamblang. Secara tidak langsung, Gaya mengakui akan banyak kontroversi yang diterima oleh mereka. Efek dari lagu itu sempat menciptakan kontroversi dengan beberapa band hiphop yang tidak terima dengan kritik Eye Feel Six.

“Sempat ada konflik saat launching album kami di Score Bandung beberapa waktu lalu. Yah, ada beberapa pihak yang tidak menerima kritik dalam lagu itu. Tapi bagi kami, konflik itu penting bagi komunitas hiphop. Lagian penyelesaiannya kan gampang, ayo kita battle aja di panggung dan tinggal ambil microphone. Karena kami memang mengharapkan ada feedback, sehingga terjadi diskusi dan ada dialog,” papar pria pengagum Public Enemy, Necro, dan Cypress Hill.

Gaya menambahkan bahwa hiphop yang sudah menjadi bagian budaya pop adalah bagian dari industri musik yang memang tak bisa dilepaskan. Salah satu bentuk perlawanan mereka terhadap pola industri, yaitu menjadikan musik hiphop sebagai sebuah kekuatan swadaya untuk komunitas musik yang ada di Bandung.

“Apa yang kami lakukan hanyalah bergerilya untuk menjadikan musik hiphop sebagai sebuah dialog antar komunitas. Awalnya sih yah sebagai wadah untuk mengekspresikan diri, akan tetapi dengan adaya Eye Feel Six justru menjadi media diskusi lintas komunitas, itu tentu sangat menarik,” papar Gaya.

Dalam album Pain Per Hate, Eye Feel Six yang digawangi Gayanugrah aka Soul Killa (MC), Elmanjanaka aka Mind Freeza (MC) dan Fajar Nurwanto aka Beat Hustlers (beat maker) mencoba bereksplorasi dengan pelbagai komunitas musik underground di Bandung untuk melahirkan sebuah karya album hiphop yang layak diapresiasi tahun ini. Album ini tak hanya menampilkan musik hiphop old-school, tapi sebuah album hiphop yang kaya eksplorasi dengan berbagai kolaborasi lewat seni musik tradisi Sunda Karinding hingga musik punk dan death metal. Termasuk hadirnya sampling-sampling metal dari Slayer, Balcony, dan Black Cobra. Kolaborasi untuk pembuatan album ini melibatkan berbagai kalangan musisi di kota Bandung seperti Man dari band death metal Jasad dan grup musik Karinding Attack. 

“Komunitas hiphop di mana-mana selalu merasa ekslusif. Kami ingin keluar dari lingkaran itu, bahwa musik hiphop bisa berkolaborasi dengan genre musik lain, seperti dengan komunitas metal Ujungberung dan musik tradisi Sunda,” papar Gaya.

Selama proses rekaman, Eye Feel Six membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menyelesaikannya. Band yang terbentuk tahun 2000 ini bermula dari sebuah kompetisi hiphop X-Freedom. Setelah sekian lama eksis, baru memasuki pertengahan tahun 2011 ini mereka resmi merilis album debut yang dibantu oleh Ucok Homicide aka Morgue Vanguard sebagai Musik Supervisor. Menariknya kekuatan komunitas menjadi fondasi utama lahirnya album ini.

“Seolah terjadi Brother’s Keeper Connection. Tiba-tiba saja kawan-kawan di komunitas mau bantu untuk menyelesaikan proses kreatif album ini. Tiba-tiba kawan-kawan Karinding Attack mau bantu, Man Jasad mau bantu, terus Ucok Homicide mau bantu, begitupula DJ E-One (Cronik). Semuanya terjadi begitu saja, kawan-kawan komunitas saling bantu tanpa pamrih. Karena kultur yang ada di komunitas seperti itu,” ujar Gaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar